Seorang raja ingin menguji kejujuran warganya. Setelah berpikir bagaimana caranya, dia membuat sebuah pengumuman. Isinya sebuah sayembara menanam pohon. Akan dipilih sepuluh pemuda yang berhak mengikuti sayembara tersebut.
Namanya juga sayembara, pasti ada hadiahnya. Apalagi yang mengadakan adalah raja. Selain bergengsi, hadiahnya juga banyak. Maka berbondong-bondonglah para pemuda dari berbagai penjuru kerajaan mengajukan diri menjadi calon peserta sayembara.Terpilih sepuluh pemuda. Kepada mereka, raja memberi sebuah biji tanaman.
“Kalian sudah terpilih. Ini tidak main-main. Aku kasih kalian masing-masing sebuah biji tanaman. Tugas kalian adalah membuat biji itu tumbuh menjadi sebuah pohon. Yang pohonnya tumbuh paling baik, dialah pemenangnya. Paham?”
“Paham, Baginda,” jawab kesepuluh pemuda.
“Ya sudah, sana. Pulang. Lima bulan lagi kalian ke sini, bawa tanamannya.”
Kesepuluh pemuda pulang. Mereka segara mencari tanah tersubur sebagai media tanam biji yang diberikan raja. Mereka memberi pupuk dan merawatnya.
Saat bertemu, mereka saling membanggakan perkembangan tanamannya. Katanya, tanaman tersebut tumbuh bagus dan berkembang dengan baik.
Namun, ada satu pemuda yang cemas. Biji yang dia tanam sama sekali tidak tumbuh. Dia sudah menggunakan tanah yang subuh dan memberi pupuk. Namun, tak juga muncul tanda-tanda bahwa biji itu berkembang.
Lima bulan sudah. Saatnya peserta sayembara membawa hasil usaha mereka ke hadapan raja. Sepuluh pemuda itu diundang ke istana pada waktu yang sama. Mereka membawa pot dalam sebuah peti kayu supaya tidak terlihat. Rajalah orang pertama yang akan melihatnya.
Semua peti dibuka. Sembilan tanaman dalam pot tumbuh subur dan mengagumkan. Terlihat segar dan kuat. Satu pot yang tidak ada tanamannya. Hanya berisi tanah subur saja.
Pemilik pot tanpa tanaman itu menundukkan kepala. Sementara, kesembilan pemuda lainnya tersenyum mengejek.
Raja mengamati semua pot. Dia tampak tenang dan berwibawa.
“Aku sudah mendapatkan pemenang,” kata raja setelah berdiri dari singgasananya.
Kesembilan pemuda dengan tanaman terbaik itu degdegan. Mereka sangat menanti pengumuman pemenang sayembara. Satu pemuda lainnya semakin tertunduk.
Raja berjalan menuju ke jajaran pot di depannya. Ketika sampai di pot tanpa tanaman, dia berhenti. Pot itu dia pegang, diangkat sejajar mukanya.
“Punya siapa ini?” tanya raja.
Pemuda pemilik pot tersebut takut dan malu bukan kepalang. Sembilan pemuda lainnnya menertawakan dalam hati.
“Punya siapa?” ulang raja.
“Punya saya, Baginda,”jawab pemuda pemilik pot itu. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.
“Berdirilah. Sini, dekat aku,” perintah raja.
Dengan gemetar, pemuda itu berdiri di dekat raja. Raja menatapnya. Pemuda itu semakin gemetar.
“Inilah pemenanganya,” kata raja sambil menepuk pundak pemuda itu.
Tentu saja semua kaget. Kesembilan pemuda lainnya protes. Tanaman mereka tumbuh subur, kenapa justru yang tidak tumbuh menjadi pemenang?
“Tahukah kalian, biji yang aku kasih lima bulan yang lalu sudah aku goring semua. Tak mungkin tumbuh menjadi tanaman. Kalau ada yang ngaku merawat biji itu sampai bisa tumbuh, berarti dia bohong.” Raja kembali duduk.
—
Kejujuran adalah kunci kesuksesan di mana pun. Tak ada yang menyangkal bahwa kejujuran harus diajarkan kepada murid.
Sayangnya, kejujuran masih banyak diajarkan sebagai sebuah konsep, bukan praktik. Murid banyak disuruh mendefinisikan dan memberi contoh sikap jujur. Namun, mereka tidak diarahkan untuk belajar jujur.
Lebih parah lagi, mereka tidak mendapat contoh perilaku jujur dari orang-orang di sekitarnya. Huft, berat memang mengajarkan perilaku jujur. Harus dimulai dari orang yang mengajarkannya dulu.
Silakan disebarkan sekiranya bermanfaat.