Website yang menggunakan content marketing mendapatkan konversi dan penjualan 6x lebih tinggi daripada yang tidak (OneSpot, 2015).
Konten itu bisa menjual…
..bukan cuma sebagai hiburan, panduan, atau informasi.
Apabila dimanfaatkan dengan benar sebagai media pemasaran, maka — seperti angka di atas — penjualan akan meningkat drastis.
Benarkah begitu?
Belum tentu.
Pada prakteknya, ada juga yang tidak merasa manfaatnya. Banyak.
Sudah membuat konten, pengunjung berdatangan, tapi ternyata penjualan tetap begitu-begitu saja. Ini yang sering terjadi.
Bukan salah sistemnya,
Tetapi salah kontennya…
Karena konten anda tidak mampu menjual.
Dalam artikel ini anda akan mempelajari mengapa orang-orang tidak
membeli dari anda, dan bagaimana menciptakan konten yang mampu menjual.
Mengapa mereka tidak membeli dari anda?
Ada berbagai alasan, pastinya.
Mari kita bahas beberapa di antaranya tanpa melihat apakah
produk/jasa yang dijual sudah layak atau belum. Dan hanya dari segi
konten saja.
Ini penting:
Untuk membuat konten yang mampu meningkatkan penjualan, anda harus
benar-benar memahami apa yang membuat pengunjung website memutuskan
untuk tidak membeli.
3 hal ini adalah alasan utamanya…
…ketiganya merupakan halangan yang harus anda hancurkan satu per satu sebelum pengunjung mau berubah menjadi kustomer.
1. Karena belum percaya
Online maupun offline, orang-orang tidak akan membeli dari penjual yang tidak dipercaya.
Tetapi ada perbedaannya.
Kalau offline, kita bisa melihat langsung. Si penjual punya toko
fisik dan dia bisa langsung memperlihatkan apa yang dijual di depan mata
anda.
Tidak demikian di online.
Semua orang bisa membuat website, bahkan penipu sekalipun.
Tapi itu masih sepele…
Meyakinkan orang lain bahwa kita bukan penipu itu mudah.
Masalahnya, meskipun anda sudah dirasa bukan penipu mereka belum tentu mau membeli. Anda harus bisa mendapatkan kepercayaan sebagai yang terbaik.
Jadi, 2 tahap.
Karena itulah untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain anda butuh usaha ekstra dibandingkan melakukan penjualan offline.
Untungnya, content marketing (yang tepat) bisa jadi solusinya. Akan dijelaskan lebih lanjut di bawah.
2. Tidak tepat sasaran
Ini kesalahan yang paling sering dilakukan oleh praktisi digital marketing.
Seperti yang dulu dialami oleh Groove.
Groove adalah software help desk. Jadi semestinya target pasar mereka
adalah para pengusaha yang punya masalah dengan urusan customer
service.
Nah, masalahnya blog mereka dulu hanya membahas tentang pengembangan bisnis:
Meskipun sama-sama tentang bisnis, tapi orang yang mencari informasi pengembangan bisnis tidak memerlukan software mereka.
Sehingga kontennya tidak mampu meningkatkan konversi.
Padahal kualitas dari konten yang mereka buat luar biasa. Saya
sendiri juga langganan di blognya…padahal tidak ada niat untuk
menggunakan softwarenya.
Maka dari itu, mereka kemudian membuat kategori khusus membahas customer service.
Setelah diluncurkannya blog ini, konversi mereka meningkat
drastis. Pendapatan untuk setiap konten yang diterbitkan di blog
mencapai angka $1,657.25.
3. Pengunjung masih dalam kondisi pasif
Benda dalam keadaan diam akan tetap diam, kecuali ada gaya yang mengubahnya.
Itu sebagian dari bunyi hukum 1 Newton.
Menariknya, manusia pun seperti itu.
Ketika dalam kondisi pasif, kita akan terus pasif…sampai ada sesuatu yang membuat kita aktif.
Orang-orang yang sedang browsing di internet otaknya dalam kondisi
pasif. Baca artikel, lihat gambar, nonton video, buka tab baru – lalu
ditutup.
Tidak bergerak.
Jadi, konten yang kita buat harus mampu membuat mereka bergerak.
Kalau tidak maka mereka akan tetap pasif.
Membuat konten yang mampu menjual
Sebelum melanjutkan, saya menyarankan anda membaca seri panduan content marketing ini.
Ada 2 fungsi utama konten dalam pemasaran online:
1) Mendatangkan pengunjung, dan 2) meningkatkan penjualan.
Yang pertama masih mudah…
…asalkan kontennya menarik, pengunjung akan datang setelah konten tersebut dipromosikan.
Tapi yang kedua butuh perhatian ekstra.
Dalam penjualan online, kita harus melewati 3 hambatan yang tadi
disebutkan. Karena itu konten yang sekedar “menarik” saja belum tentu
bisa meningkatkan penjualan.
Inilah beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Sediakan konten untuk setiap tahap dalam sales funnel
Sales funnel atau kadang disebut marketing funnel adalah setiap
tahapan yang dilalui oleh setiap orang sebelum memutuskan untuk
melakukan pembelian.
Mari kita lihat kembali gambar sales/marketing funnel:
Kalau anda mencari di internet, setiap website akan menampilkan
gambar sales funnel yang berbeda satu sama lain. Meskipun demikian,
intinya sama.
Secara umum ada 3 bagian:
- TOFU (Top of the funnel): Awareness
- MOFU (Middle of the funnel): Consideration/Evaluation
- BOFU (Bottom of the funnel): Purchase
Bagian atas, tengah, dan bawah.
Sebelum seseorang memutuskan untuk membeli, semua orang akan melewati bagian-bagian ini.
Pertama, mereka akan sadar dengan masalahnya. Kemudian menimbang-nimbang pilihan yang ada. Terakhir, memutuskan untuk membeli.
Ingat:
Konten untuk tiap bagian tidak sama.
2 hal yang sering terjadi yaitu hanya fokus di funnel atas (TOFU) dan hanya membuat konten untuk funnel bawah (BOFU).
Akibatnya…
1. Fokus di TOFU – traffic jadi banyak tapi tidak mampu menjual
2. Fokus di BOFU – susah mendapatkan traffic dan pembaca yang loyal
Oleh karena itu harus ada keseimbangan.
Untuk memahami konten apa yang harus disediakan untuk tiap bagian, ini penjelasan singkatnya:
TOFU – bagian atas funnel
Konten di bagian ini merupakan konten yang bisa dinikmati oleh masyarakat luas…karena tujuannya adalah mendatangkan traffic.
Misalnya anda menjual suplemen penurun berat badan.
Konten di bagian ini TIDAK menjelaskan kelebihan-kekurangan dari
produk yang anda jual. Bukan membahas dan mempromosikan produk.
Sebaliknya, berikan panduan olahraga atau diet untuk menurunkan berat badan.
Contoh lain, kalau anda menjual rumah.
Konten TOFU berisi panduan membeli rumah yang tepat, memilih lokasi
yang pas, foto-foto desain rumah, dan sebagainya. Konten yang kira-kira
akan dicari oleh mereka yang ingin membeli rumah.
Jadi, sekali lagi…konten TOFU harus bisa dinikmati bahkan oleh mereka yang saat ini tidak langsung ingin membeli.
MOFU – bagian tengah funnel
Dalam tahap ini, calon pembeli dalam proses membanding-bandingkan antara solusi satu dan solusi lainnya terhadap masalah mereka.
Jadi topik untuk konten MOFU lebih mendalam.
Tujuan utama kita dalam tahap ini adalah memperkenalkan bahwa ada solusi yang lebih mudah untuk menyelesaikan masalah mereka.
Dan anda lah solusi yang mereka inginkan.
Misalnya:
Untuk menurunkan berat badan, mereka tidak perlu berolahraga setengah
mati atau diet super ketat. Dengan bantuan produk yang kita jual,
prosesnya jadi lebih mudah.
Jadi, kita memperkenalkan suatu nilai tambah.
Dibandingkan dengan solusi tradisional atau solusi lain, produk/jasa
yang anda tawarkan memiliki nilai tambah yang menarik bagi mereka.
Supaya lebih jelas, ini beberapa contoh jenis kontennya:
- Studi kasus dari mereka yang sudah menggunakan produk/jasa anda
- Statistik/data/fakta
- Perbandingan, kelebihan dan kekurangan
- FAQ, pertanyaan yang sering diajukan
- Video demo produk
- Review/testimonial
- Buyer’s guide – panduan dalam memilih produk yang tepat
Ini hanya beberapa, dan tidak semuanya bisa diaplikasikan pada setiap jenis bisnis.
Konten untuk MOFU bersifat edukatif tetapi juga persuasif.
BOFU – bagian bawah funnel
Tahap terakhir, ketika seseorang sudah siap melakukan pembelian.
Mereka sudah dalam keadaan ter-edukasi dengan masalah yang ada serta solusi yang tepat. Mereka sudah tertarik dengan anda.
Tetapi masih ada 1 hambatan lagi yang menghalangi mereka untuk melakukan pembelian.
Rasa takut, atau ketidakpastian.
Karena itulah konten BOFU 100% bersifat persuasif, contohnya:
- Konsultasi gratis
- Trial/demo/sampel
- Cara melakukan pembelian
- Diskon atau bonus
- Jaminan/garansi
Tujuan akhirnya adalah perasaan yakin.
2. Identifikasi permasalahan yang nyata untuk diselesaikan
Konten sebagus apapun akan percuma kalau isinya tidak menyelesaikan permasalahan dari pembacanya sampai tuntas.
Mari kita ingat kembali…
Apa yang membuat seseorang ingin melakukan pembelian?
Karena mereka punya masalah.
Tapi, ini yang terpenting, melakukan pembelian itu adalah opsi
terakhir. Kalau mereka tidak bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri.
Artinya begini:
Anda tidak akan bisa mempengaruhi orang lain untuk membeli kalau
belum apa-apa sudah menyuruh mereka mengeluarkan uang untuk membeli.
Ini terutama kalau masyarakat umum belum ter-edukasi dengan bisnis anda.
Contoh:
Misalnya, kita menjual air alkali.
Katanya, air ini bisa jadi antioksidan, untuk detoks, untuk awet muda, dll. [1]
(Salah satu merek yang cukup terkenal di Indonesia, Kangen Water, mungkin ada yang sudah pernah dengar?)
Tapi sebagian besar masyarakat belum tahu tentang produk ini.
Nah, kalau anda menjual produk ini secara online…
…Apakah anda akan membuat konten tentang:
- Pengertian & manfaat produk, jenis-jenisnya, proses pembuatan, dsb., atau
- Cara mencegah kanker, membersihkan racun tubuh, cara menjadi awet muda, dll.
Yang pertama?
Okelah, dengan membuat konten yang pertama kita akan mendapatkan
pengunjung berupa orang-orang yang siap membeli produk tersebut.
Tapi…
Jumlahnya sedikit.
Karena tidak banyak yang tahu dan paham tentang produk tersebut. Jadi
sebagian besar akan “cuek” ketika membaca konten seperti itu.
Bandingkan dengan yang kedua.
Yang membutuhkan informasi seperti itu JAUH lebih banyak.
Meskipun saat ini mereka belum tahu mengenai produk tersebut, tapi
melalui konten tersebut anda bisa memperkenalkannya sebagai solusi.
Karena mereka punya masalah yang bisa kita selesaikan dengan produk tersebut.
Itu sebabnya konten TOFU harus menyelesaikan permasalahan yang nyata.
3. Perhatikan relevansi antara konten dengan produk/jasa yang dijual
Ini seperti permasalahan yang dihadapi oleh Groove tadi.
Pada awalnya konten mereka tidak mampu memberikan hasil positif
karena apa yang dibahas dalam konten tidak relevan dengan apa yang
dijual.
Ini pertanyaan salah satu pembaca PIM:
Misalnya kalau menjual alat-alat kantor, tapi konten yang diterbitkan seputar traveling. Apakah hasilnya akan sama?
Pasti beda!
Begini…
Kita ingin mendatangkan pengunjung, tapi bukan sembarang pengunjung.
Melainkan mereka yang memang punya permasalahan yang relevan dengan apa
yang kita jual.
Kalau menyediakan konten travel, maka orang yang datang adalah orang yang ingin traveling. Bukan yang butuh perlengkapan kantor.
Akibatnya, penjualan sama sekali tidak meningkat.
Masuk akal kan?
Konten dalam pemasaran konten itu bukan cuma supaya “sekedar ada”,
tapi harus diarahkan ke tujuan utama kita. Entah itu penjualan atau yang
lain.
Solusinya: buat buyer persona
Ini solusi untuk nomor 2 dan 3 di atas.
Supaya konten yang kita buat benar-benar menyelesaikan permasalahan.
Dan supaya konten tersebut tepat sasaran kepada orang yang berpotensi
membeli dari kita.
Apa itu buyer persona?
Gambaran ideal dari pembeli ideal kita. Orang seperti apa yang berpotensi akan membeli dari anda.
Jadi misalnya anda menjual perlengkapan kantor, maka salah satu buyer
persona-nya adalah pengusaha baru yang baru membuka kantor.
Tidak berhenti sampai di situ…
…kita masih perlu menganalisa lebih lanjut mengenai profil mereka, permasalahan mereka, dan lain-lain.
Semuanya dijelaskan lebih lanjut dalam panduan strategi content marketing ini.
Pada akhirnya, konten yang kita buat harus fokus dengan permasalahan
apa yang dihadapi oleh buyer persona. Dengan demikian pemasaran dan
penjualan jadi tepat sasaran.
4. Buat konten praktis, konten yang mudah dipraktekkan
Coba bayangkan:
Anda sedang belanja di Hypermart atau swalayan lain…
…kemudian ada seorang sales yang menawarkan suatu merek makanan beku.
Si sales mempraktekkan betapa mudah proses memasaknya, setelah itu anda
dipersilahkan untuk mencoba.
Pasti muncul keinginan untuk membeli.
Ini karena kita sudah ditunjukkan “benefit” yang akan kita terima.
Kira-kira seperti itu kalau offline.
Masalahnya, ketika sedang mereka membeli secara online anda tidak
bisa mempraktekkan langsung. Kecuali anda bisa memberikan trial/demo
kepada calon pembeli.
Karena itulah kita butuh konten praktis ini.
Artinya: konten berupa panduan yang bisa langsung dipraktekkan oleh pembaca dan langsung memberikan manfaat positif bagi mereka.
(Hati-hati, praktis bukan berarti simpel atau sederhana)
Jenis terbaik untuk tujuan ini adalah panduan, bukan informasi atau berita…bukan sekedar bacaan.
Ini alasannya:
Konten seperti itu bisa menyelesaikan 2 masalah sekaligus.
Pertama, mereka akan “bergerak” dari pasif menjadi aktif.
Masih ingat 3 alasan mengapa seseorang tidak membeli? Terutama yang ketiga.
Pada umumnya orang-orang di internet masih dalam keadaan pasif.
Makanya ketika ditawarkan untuk membeli mereka tidak langsung membeli.
Ketika selesai membaca konten, mereka masih pasif.
Konten praktis bisa jadi penggerak.
Mereka tidak menganggap konten sekedar konten lagi karena mereka bisa melakukan sesuatu setelahnya.
Ada yang lebih penting lagi,
Apabila konten yang anda berikan bisa langsung memberikan manfaat
bagi pembaca, maka dalam sekejap anda jadi sosok yang dipercaya.
Misalnya karena saya memberikan panduan marketing, maka pembaca yang
merasa konten ini bermanfaat akan menganggap bahwa saya seorang ahli
marketing. Maka apabila saya membuka jasa marketing, orang lain akan
lebih yakin untuk membeli (dibandingkan tanpa konten sama sekali).
Jadi ketika membuat konten, jangan jelaskan “Apa” melainkan “Bagaimana”.
5. Berikan sesuatu yang ditukar dengan sesuatu
Membingungkan ya bahasanya…
Akan saya jelaskan latar belakangnya dulu.
Dr. Robert Cialdini, seorang pakar psikologi dan marketing, dalam
bukunya “Influence: The Psychology of Persuasion” menyebutkan ada 6
prinsip yang bisa digunakan untuk mempengaruhi orang lain agar mengambil
tindakan.
Prinsip-prinsip ini sering diaplikasikan oleh orang-orang sales dan marketing.
2 di antaranya akan kita manfaatkan.
Yang pertama adalah Commitment & Consistency.
Intinya, orang-orang akan lebih mungkin untuk melakukan komitmen yang
lebih besar apabila mereka sudah setuju dengan komitmen yang lebih
kecil sebelumnya.
Mengeluarkan uang, melakukan pembelian, itu komitmen besar.
Padahal kita ingin menjual dengan konten. Membaca konten dari sebuah
website itu tidak membutuhkan komitmen, betul? Mereka tidak membutuhkan
usaha apapun.
Jadi ada gap besar di sini.
Antara konten yang tanpa komitmen dengan pembelian yang komitmennya besar.
Maka dari itulah sekedar konten saja belum cukup untuk mempengaruhi mereka agar membeli.
Kita butuh sesuatu di antaranya.
Contoh komitmen kecilnya bisa salah satu dari:
- Mendaftarkan email
- Memberikan nomor telepon
- Membuat akun gratis
Atau yang lain…tergantung dari jenis bisnis anda.
Tapi bagaimana supaya mereka mau rela memberikan salah satunya?
Untuk itulah kita manfaatkan satu prinsip persuasi lagi:
Reciprocity (timbal-balik).
Orang lain akan cenderung memberikan sesuatu kepada kita apabila kita
memberikan mereka sesuatu terlebih dahulu. Contohnya, kalau kita
menolong seseorang maka orang tersebut akan merasa punya kewajiban untuk
balas budi.
Maka dari itu kita yang harus memberikan mereka duluan.
Misalnya:
- Ebook
- Diskon
- Demo/trial/sampel
Sebagai gantinya mereka akan lebih rela memberikan komitmen kecil tadi kepada anda.
Contoh penerapannya bisa dilihat di website ini.
Saya menaruh form pendaftaran email di beberapa tempat. Anda juga pasti sudah melihat beberapa di antaranya.
Salah satu jenisnya adalah layar popup, ini rasio konversinya:
Antara 4.39% sampai 8.94%.
Tidak jelek-jelek amat memang, tapi mari kita lihat 1 jenis lagi:
Di sini saya menjanjikan file bonus ketika pembaca memasukkan alamat emailnya. Rasio konversinya seperti ini:
Dari 5% sampai 15%. Hampir 2x lipat.
Dengan memberikan sesuatu, maka orang lain akan lebih cenderung untuk rela memberikan kita sesuatu.
6. Lakukan email marketing
Ini lanjutan dari nomor 5 di atas.
Kita sudah mendapatkan “sesuatu” dari mereka. Email, nomor telepon,
PIN BBM, username LINE, atau apapun…mestinya merupakan kontak yang bisa
dihubungi.
Jadi tidak harus email.
(Meskipun yang sudah mencoba pasti sepakat kalau email sejauh ini paling praktis)
Yang penting kita harus bisa menjangkau mereka.
Dan tentunya tidak berhenti sampai di sana. Percuma kita mendapatkan kontaknya tetapi tidak ditindaklanjuti.
Tetapi tidak semudah itu, setelah mendapatkan emailnya kita tidak
langsung melakukan spamming penjualan begitu saja menuju inbox mereka.
Seperti ini kesalahan yang paling umum:
- Memberikan gratisan ditukar email atau kontak lain
- Kemudian punya 1000an email list
- Dikirimkan “email blast” yang menawarkan produk
- Report as spam…tamat
Ini salah besar.
Begini, kalau anda ingin berhasil menjual secara online – maka anda
harus mengurangi proses menjualnya. Tidak ada orang yang suka dengan
orang yang selalu menyuruh mereka membuka dompet.
…kecuali ketika mereka sudah siap membeli.
Maka dari itulah tugas utama anda adalah mengkondisikan mereka agar siap untuk membeli.
Bagaimana?
Tadi kita sudah berbicara tentang sales funnel. Ada TOFU, MOFU, dan BOFU.
Konten yang diterbitkan di website sebagian besar adalah TOFU, tujuan
utamanya untuk mendatangkan traffic. Sedangkan dalam email marketing,
yang kita berikan kepada audiens adalah konten MOFU dan BOFU.
Proses yang dilalui oleh seorang calon pembeli
Kembali ke contoh tadi, untuk website yang menjual suplemen penurun berat badan…
…seperti ini kira-kira proses yang dilalui:
Masuk ke website > membaca “cara menurunkan berat badan” >
mendaftarkan email untuk mendapatkan bonus > menuju halaman produk
> menuju konten studi kasus, testimonial, atau FAQ > mendapatkan
kupon diskon > melakukan pembelian.
Idealnya seperti itu.
Tetapi seringkali prosesnya berhenti di tengah-tengah.
Maka dari itu itulah kita butuh email mereka, supaya kita bisa mengingatkan mereka kembali untuk melanjutkan prosesnya.
7. Lakukan analisa konten
Kalau anda sudah punya kontennya,
Apakah konten tersebut berhasil menghasilkan penjualan?
Apakah konten ini percuma?
Atau justru berakibat buruk?
Kita tidak akan tahu apabila kita tidak melakukan analisa.
Bukan dengan asumsi…
…melainkan data yang nyata.
Maka dari itulah kita perlu melakukan analisa konten.
Pastikan konten mana yang memberikan hasil terbaik, mana yang
percuma, dan mana yang justru berakibat buruk. Kemudian dari hasilnya
anda akan tahu konten seperti apa yang harus dibuat kedepannya.
Karena topik ini sendiri cukup panjang untuk dibahas, silahkan baca panduan analisa konten.
Mulai dari mana?
Itulah ketujuh hal yang perlu anda perhatikan untuk membuat konten yang mampu menjual beserta contoh prosesnya.
Kalau anda membaca sampai titik ini, berarti anda:
- Belum punya konten, baru ingin mulai
- Sudah punya konten tetapi belum efektif
Untuk tipe ke-2, silahkan lakukan analisa terhadap konten yang sudah
ada, kemudian hilangkan semua konten yang kinerjanya buruk. Tapi tidak
perlu dihapus kalau anda tidak rela.
Setelah itu, termasuk bagi anda yang tipe-1, silahkan mulai dari:
Tahap 1: Buat konten praktis. Gunakan metode KTP sebagai panduan kalau anda ingin membuat konten yang berkualitas. Baca juga panduan memilih topik konten ini.
Pastikan konten tersebut ada di TOFU (bagian atas funnel).
Tahap 2: Sediakan “sesuatu” yang bisa anda berikan kepada pembaca konten untuk mendapatkan email mereka. Baca panduan list building ini.
Tahap 3: Promosikan konten praktis yang barusan dibuat.
Tahap 4: Setelah punya traffic dan email list, mulai
dorong ke arah pembelian dengan mempromosikan konten MOFU dan BOFU
(bagian tengah dan bawah funnel) kepada mereka.
Setelah itu lakukan analisa, konten mana yang tidak memberikan hasil positif.
Terakhir, sebagai tambahan, pelajari teknik Copywriting untuk mengetahui bagaimana membuat tulisan yang mampu menjual.
[1] Disclaimer: Mengenai air alkali, dalam artikel ini saya bukan ingin
merekomendasikan produk tersebut kepada anda. Informasi tersebut
dikutip dari website lain dan bukan melalui pengalaman pribadi.
Penyebutan jenis produk dan merek hanya murni untuk contoh.